Loading...
Monday, 9 December 2013

Amazing Flores

Dua minggu berselang dan tiba saatnya untuk berangkat ke tempat tujuan, Flores, NTT. Perjalanan dimulai dengan rute: Jakarta - Kupang - Maumere. Siang hari sesampainya di Maumere, saya menuju ke Patung Kristus Yesus yang berada di tengah kota. Patung setinggi 4 meter ini merupakan simbol kepercayaan masyarakat flores yang mayoritasnya beragama Khatolik. Dibangun pada tahun 1926 oleh raja Don Thomas da Silva namun sempat mengalami kerusakan sehingga pada tahun 1989, patung ini dipugar kembali dan diberkati oleh Paus Yohannes Paulus II ketika berkunjung kesana. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Desa Moni, desa terdekat yang berada di bawah kaki G. Kelimutu yang tersohor akan kawah 3 warnanya.

English: Kelimutu crater lakes, Flores Island,...
 (Photo credit: Wikipedia)
Keindahan Kawah 3 Warna Gunung Kelimutu
Waktu menunjukan jam 04.30 WITA, saatnya bergegas untuk melihat sunrise di G.Kelimutu. Jalanan berkelok-kelok serta udara dingin yang menusuk tulang tidak mengurungkan niat saya untuk mengabadikan gambar di Gunung yang pernah masuk di dalam mata uang Indonesia nominal 5000 Rupiah ini. Sesampainya di pos pertama, saya masih harus trekking lagi selama 15 menit untuk sampai ke puncaknya. Jalan setapak yang bercampur dengan jalan beton sangat membantu turis untuk dapat mencapai puncaknya. 15 menit saya lalui, kantuk dan lelah terbayar lunas ketika matahari terbit di ufuk timur dan memperlihatkan cantiknya alam Indonesia ini.


Kelimutu dalam bahasa setempat berarti: Keli = gunung dan Mutu = mendidih, dimana pada awalnya merupakan gunung berapi aktif dan meletus sehingga menghasilkan kawah 3 warna seperti sekarang ini. Masyarakat setempat percaya bahwa setelah meninggal dunia, jiwa orang tersebut akan tinggal di kawah untuk selamanya. Namun para arwah tersebut terlebih dahulu menghadap Konde Ratu selaku pintu masuk di Pere Konde untuk ditentukan untuk masuk ke salah satu kawah berdasarkan perbuatan dan usianya. Kawah Tiwu ata Mbupu untuk roh orang tua, kawah Tiwu Nuwa Muri Koo untuk arwah muda-mudi, dan kawah Tiwu Ata Polo untuk arwah orang yang sering melakukan kejahatan selama hidupnya. Uniknya lagi, warna dari kawah Kelimutu ini adalah airnya yang sering berubah-ubah seiring waktu dan material yang terkandung di dalamnya.

Bercengkrama Dengan Penduduk Desa Wologai
Setelah puas menikmati keindahan kawah Kelimutu, perjalanan dilanjutkan ke Ende, tepatnya menuju desa adat Wologai. Dibutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk mencapai desa ini. Desa Wologai terletak di Kecamatan Detusoko, 40 Km arah Timur Kota Ende. Wologai merupakan desa yang belum tersentuh oleh modernisasi. Penduduknya sangat ramah kepada turis, sampai-sampi seorang penduduk disana menyuruh memanggil dirinya dengan sebutan "mama". Di tengah desa terdapat bangunan tempat berlangsungnya upacara keagamaan dan di dalam bangunan itu terdapat gendang yang terbuat dari kulit manusia. Tidak semua turis dapat melihat gendang tersebut, hanya mereka yang menyerahkan persembahan seperti sapi atau kambing yang dapat melihatnya. Keunikan lain dari desa ini adalah adanya batu yang dikeramatkan oleh pendududk, karena menurut mereka, siapa saja yang menyentuh batu itu, desa mereka akan hancur seketika.



BAJAWA, TEMPATNYA KAMPUNG BENA

Perjalanan saya lanjutkan lagi dan hari ini saya menuju ke Bajawa. 45 menit dari Bajawa, tepat di kaki gunung Inerie, terletak kampung wisata bernama Kampung Bena. Kampung Bena ini sendiri terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Ngada. Mayoritas penduduk disini bekerja sebagai peladang dan tukang tenun. Dibandingkan Wologai, kampung Bena nampak lebih komersil. Hal ini dibuktikan dari setiap rumah yang saya sambangi, selalu menawarkan souvenir berupa kain ikat, kain lilit, maupun ikat kepala. Ciri khas dari kampung Bena ini adalah rumahnya yang beratap tinggi dan terbuat dari ilalang, di tengah kampung terdapat halaman yang luas bernama Kisanatha dan digunakan untuk ritual keagamaan. Di kampung ini hidup 9 klan dimana ditandai dengan Ngadu dan Bagha yang berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat dengan roh leluhurnya.

Flores


Flores


Mengunjungi Taman Nasional Pulau Komodo
Dari Bajawa saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Sawah Lingko dan air terjun Cunca Wulang, namun karena keterbatasan space  langsung saya menuju ke Labuan Bajo, dan menginap di Wae Cicu, sebelum akhirnya saya ke Pulau Komodo.

Pagi hari setelah mempersiapkan segala peralatan, saya menuju ke dermaga untuk menuju pulau Komodo. Perjalanan ke Pulau Komodo dapat ditempuh salam waktu 2-3 jam. Taman Nasional Pulau Komodo dibagi atas 3 pulau besar yaitu Rinca, Komodo, dan Padar dimana Pulau Komodo adalah pulau terbesar. Pulau Komodo juga masuk kedalam UNESCO World Heritage Site pada tahun 1986. 

Sesampainya di Dermaga Loh Liang, Pulau Komodo saya segera disambut Ranger yang berjaga di pulau. Mereka memberi pengarahan di pos jaga serta memberi tahu larangan yang harus dipatuhi oleh pengunjung pulau. Banyak hal yang harus dipatuhi seperti tidak boleh memakai benda yang terjuntai seperti tas, larangan untuk wanita yang sedang datang bulan, sampai larangan untuk membawa makanan ke dalam pulau. Selesai pengarahan, saya diberi pilihan untuk trek yang ingin saya lalui, karena keterbatasan stamina, saya memilih medium track.

Sepanjang perjalanan di pulau ini, para Ranger memimpin dengan membawa tongkat bercabang diujungnya, yang digunakan untuk menghalau komodo ketika mau menyerang. Sampailah saya pada pos pertama bernama "Water Hole". Beruntungnya saya karena baru sampai pos pertama, saya dapat melihat banyak sekali komodo disini. Karena perlu diketahui, komodo tidak selalu dapat dilihat di suatu tempat karena kondisi pulau yang sangat besar, dan pergerakan mereka yang selalu berpindah pindah. Saya terus mendaki sampai tiba di suatu tempat bernama "Sulphurea Hill Top", ini merupakan tempat tertinggi jika melalui medium trek. Disini saya dapat melihat Pulau Komodo dari ketinggian dan laut jernih bewarna biru hijau di kejauhan. Sungguh pemandangan yang indah dengan dominasi warna krem bercampur dengan warna biru yang membuat saya berpikir untuk terus mensyukuri betapa kaya dan indahnya alam Indonesia ini.

Tak lama saya menuruni bukit untuk kembali ke dermaga, saya menemukan beberapa penjual souvenir khas pulau Komodo, seperti kaos, gantungan kunci, asbak, sampai patung kayu berbentuk "naga raksasa" ini. Dari pulau Komodo ini perjalanan saya teruskan ke Pink beach yang terkenal akan pasirnya yang bewarna merah jambu. Warna merah itu sendiri terbentuk akibat pecahan koral merah yang terkena abrasi yang waktu terdahulu banyak terdapat di sekitar perairan pulau Komodo. Air lautnya yang menurut saya "superbening" memaksa saya untuk snorkling serta melihat keindahan bawah lautnya. Hari mulai sore dan saya mendapat intruksi untuk bergegas pulang ke Wae Cicu. Sungguh pengalaman yang luar biasa bisa menyaksikan keindahan alam Pulau Flores, "This is very amazing journey."

0 komentar:

Post a Comment

Uniknya Nusantara Indonesia

My Photo

Sebuah Blog sederhana untuk Mengenalkan dan Menampilkan Keunikan Nusantara Indonesia Dari Sabang Sampai Merauke
 
Klik This >
TOP